Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al Isra ayat 23)

Selasa, 21 Agustus 2012

SETELAH LEBARAN APA YANG HARUS DILAKUKAN?



 SETELAH LEBARAN APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Hingar bingar mudik lebaran telah usai. Hari lebaran yang ditunggu-tunggu telah kita lewati dengan sukacita. Lalu apa yang tersisa dari bulan Ramadhan itu? Buah apa yang dapat kita petik setelah sebulan kita menjalankan ibadah shaum? Sudahkan kita benar-benar kembali fitri? Dan sejauh mana esensi puasa mampu menginspirasi derap langkah kita sebelas bulan yang akan datang? 
Paling tidak ada 5 hal penting yang dapat kita pegang teguh di hari-hari bulan syawal dan seterusnya sehingga kita betul-betul layaknya menjadi insan yang berhasil menyelesaikan ujian sebulan penuh selama ramadhan. 

1. Shaum ditandai dengan keharusan untuk ‘imsyak’, menahan diri. Dalam kajian lebih mendalam, imsyak tak hanya keharusan untuk menahan lapar dan dahaga, melainkan jauh dari itu, yakni menahan dari segala sesuatu yang menggoda keimanan kita. Menahan untuk tidak tamak, serakah dan juga perilaku memerkaya diri dengan tidak memedulikan etika agama dan norma masyarakat yang berlaku di komunitas dan sekitar kita. 

2.Selama Ramadhan biasanya selalu kita tekuni dengan mandaras al-Qur’an. Sayangnya, mungkin kita hanya sebatas pada membaca (qara’a), dan belum beranjak ke mengkaji (tadarrus) apa yang terkandung di setiap ayat maupun surat. Karena itu, meski dalam sebulan mungkin kita mampu mengkhatamkan dua kali, tetapi esensi ajaran-ajaran dari al-Qur’an itu sendiri tak pertnah menyelesak dalam sanubari kita. Untuk itu, dalam bulan-bulan mendatang ini, jauh lebih penting adalah meningkatkan ‘mengaji’ al-Qur’n ke tingkat yang lebih tinggi, yakni mengkaji. Dan setelah itu adalah merealisasikannya dalam ranah kehidupan nyata. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, meski faham betul pada rambu-rambu yang diberikan oleh al-Qur’an, tetap saja kita acuh, dan seolah tidak tahu bahwa sesuatu itu haram, terlarang, dan dosa. 

3. Puasa Ramadhan kita tutup dengan membayar zakat fitrah sebagai upaya untuk mensucikan harta yang kita miliki. Kewajiban inilah yang memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa dalam harta kita ada hak orang lain yang harus kita kembalikan kepada mereka: fakir miskin, kaum papa, atau dhuafa. Sayangnya, pengelolaan zakat, termasuk juga infaq dan shadaqah masih dirasa belum optimal. Penggun aannya masih bersifat lonsumtif dari pada produktif. Ke depan perlu kita fikirkan bagaimana zakat yang kita kumpulkan itu mampu “menghidupi” setiap mustahik zakat menjadi insane baru yang tahun berikutnya menjadi orang yang berganti mengeluarkan zakat. Artinya, zakat seharusnya mnjadi instrument bagi kesejahteraan masyarakat tidak dalam sehari atau seminggu, tetapi labikh produktif dari itu. 

4. Selain zakat, Ramadhan juga kita pungkasi dengan merayakan lebaran atau Idul Fitri, dimana momen tersebut kita gunakan untuk saling bersilaturrahim dan memaafkan antar sesama. Tradisi inilah sebetulnya yang perlu kita budayakan tidak hanya di kala lebaran, melainkan sepanjang waktu agar kita senantiasa menjadi insan pemaaf, jauh dari sikap sombong, angkuh dan pongah. Dengan budaya pemaaf itu, diharapkan kita akan menjadi orang yang selalu rendah diri, senantiasa mengintrospeksi diri, dan terhindar dari rasa dendam. Dengan bersilaturrahim, jalinan kasih persaudaraan juga terjaga, sehingga jejaring sosial yang terjalin di antara kita senantiasa menjadi perekat bagi kehidupan bermasyarakat kita. 

5. Keempat hal di atas itulah yang akan menghantarkan kita kembali fitri, menjadi jati diri yang sesungguhnya, dan tidak hanya pasca lebaran, melainkan sepanjang tahun hingga sampai pada Ramadhan tahun berikutnya. Bukankah orang-orang bijak selalu berdo’a: “Ya Tuhan, berikan aku kesrmpatan untuk menikmati indahnya Ramadhan di tahun depan, agar aku dapat merasakan kemuliaan bulan yang telah Engkau karuniakan itu”. Do’a ini tak semata pengharapan, melainkan sugesti untuk selalu menjadi yang terbaik dalam ber-fastabikhul khairat, berkompetisi dalam kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar