Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.(QS. Al Isra ayat 23)

Minggu, 29 Juli 2012

SPIRIT RAMADHAN DIHIANATI ACARA TELEVISI



Spirit Ramadhan Dihianati Acara Televisi


Sepuluh hari pertama Bulan Ramadhan hampir kita lewati dengan aman dan tentram. Namun, ada beberapa masalah yang menurut saya memang perlu kita kritisi. Diantaranya adalah tayangan program televisi yang menemani pemirsa selama bulan suci ini, cenderung lebih banyak mudharat-nya ketimbang manfaat (terutama acara yang disuguhkan pada malam hari hingga subuh).


Program-program televisi yang khusus digelar di bulan Ramadhan nyaris semuanya dengan judul “bernuansa ramadhan”. Dengan judul yang dikemas sedemikian rupa, sehingga terkesan kental membawa dakwah ramadhan. Padahal sesungguhnya belum sejalan dengan spirit suci Ramadhan. Masih banyak adegan kekerasan, penghinaan dalam guyonan tayangan komedi masih mendominasi untuk tontonan muslimin. Bahkan ada beberapa tayangan ramadhan yang masuk kategori tidak patut.


Tayangan-tayangan tersebut, sarat dengan kata-kata makian, hinaan, dan kadang menjurus porno. Kata-kata dan sikap pelecehan yang sering muncul diantaranya menyamakan manusia dengan binantang dan pelecehan seksual. Lalu tindak kekerasan yang sering muncul adalah kekerasan berupa pukulan di kepala, walaupun hanya “trik”, namun tetap memberikan contoh yang vulgar. Sementara itu acara-acara “gosip show” tetap dengan gaya menampilkan membuka aib orang lain, membicarakan orang lain (yang terkadang tidak jelas antara kebenaran dan fitnah, masalah keluarga yang buruk, perselingkuhan, dll).


Dari analisa sederhana mengenai program-program televisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa tayangan Ramadhan itu cenderung tidak mewakili spirit Ramadhan. Bahkan, pendapat lebih ekstrim bisa “menghakimi” tontonan menemani ibadah puasa itu dengan cap menodai kesucian Ramadhan itu sendiri. Karena, Bulan Ramadhan yang seharusnya tidak diisi dengan kata-kata makian dan hinaan (bercanda yang berlebihan, merendahkan harkat-martabat manusia) atau kata-kata dan sikap yang menjurus ke hal-hal porno atau perbuatan maksiat lainnya, justru malah tetap diisi dengan cara-cara yang sama seperti pada hari-hari bisa. Tentu saja, selain Ramadhan pun seharusnya budaya-budaya negatif itu pun sebaiknya dihentikan. Paling tidak, dieleminir.


Stasiun televisi melalui program-programnya merupakan “media belajar yang sangat efektif”. Apabila tayangannya kasar dan vulgar, maka para pemirsa tanpa disadari tengah mencermati sekaligus mempelajari tayangan yang disuguhkan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari beberapa penilitian ilmiah yang pernah saya baca tentang pengaruh acara televisi terhadap perilaku penontonnya, saya percaya bahwa program televisi bisa lebih dahsyat mempengaruhi pola hidup dan pola pikir manusia, terkadang melibihi pengaruh seorang guru di bangku sekolah. Apalagi jika kita maklumi, bahwa sebagian besar penontonnya adalah anak kecil, atau muda-mudi yang sedang dalam masa pembentukan jatidiri.


Apakah tayangan-tayangan humor yang vulgar atau “menjurus” bisa berakibat parah terhadap sikap dan perilaku manusia dewasa? Saya kira sama saja. Mungkin seperti tidak separah itu, meskipun pengaruhnya lebih lambat, namun karena tayangan dengan pola sama yang tak henti-hentinya, dari masa ke masa, suatu saat nanti akan turut membentuk jatidiri bangsa. Jadi, tayangan-tayangan negatif itu ibarat bom waktu yang kita ciptakan sendiri. Stasiun televisi hanya berpikir komersil sementara soal akibat yang bisa ditimbulkan, mereka entah tidak mau tahu, atau tidak menyadarinya, wallaahu alam.


Parahnya lagi, pemirsa kita seperti terhipnotis tayangan televisi, dan menerima hal yang negatif sebagai sesuatu yang biasa atau lumrah. Ketika MUI mengkritik program-program stasiun swasta, justru masyarakatlah yang menjadi “pengacara gratis”. Ini bisa kita lihat melalui komentar-komentar masyarakat yang ditayangan secara online di situs-situs tv yang bersangkutan. Mereka justru balik mengkritik MUI. Bahkan kadang dengan kata-kata yang sangat pedas dan vulgar diiringi dengan makian yang tidak pantas (nah, apakah ini juga pengaruh dari acara tv?). Mungkin ini juga sebagai bagian dari teori sosiologi yang menegaskan bahwa ”di tengah-tengah masyarakat gila, yang normal dianggap sinting” (maaf saya tidak bermaksud vulgar, ini hanya sekedar perumpaamaan).


Kritik atau serangan balik para pemirsa terhadap pendapat MUI itu menurut saya seharusnya tidak perlu. Karena, komentar-komentarnya seperti tergiring secara emosional saja. Reaktif namun tidak kritis. Saya kira semua orang dalam hati terdalamnya memiliki alat sensor untuk membedakan yang mana kebenaran dan yang mana sebagai suatu kesalahan. Jadi tanpa harus menyitir Al-quran, Hadits, atau buku pelajaran, sesungguhnya mereka sudah bisa menentukan apakah yang ia saksikan sudah tepat atau belum. Persoalannya sebagai penonton atau komentator, akal sehat yang menjadi tolak ukur atau emosi yang membimbing?


Sekarang sudah saatnya para pelaku seni dan para produser acara-acara “modern yang tradisional” itu untuk mempersiapkan acara yang lebih berisi luar-dalam. Yang tidak membuat pemirsa sekedar bahagia atau tertawa terbahak-bahak sesaat, namun setelah itu tidak ada pesan penting yang terngiang di otak.


Tanpa bermaksud beranalisa karena sekedar like and dislike atau membandingkan karena sentimen semata, jika boleh berpendapat, tayangan sinetron “Para Pencari Tuhan” yang ditayangkan SCTV nampak jauh lebih berkualitas dibanding acara-acara Ramadhan lainnya (selain acara ceramah atau dakwah secara khusus). Apalagi jika dibandingkan dengan acara lain pada jam yang sama. Sinetron ini, disampaikan dengan sederhana, mudah dicerna, dengan diselipi humor ringan dan cerdas. Walaupun disampaikan sederhana, sesungguhnya sinetron ini sarat makna dan banyak mengutip ayat Al-quran dan Hadits. Selain kita terhibur, kita sedang belajar mengenai tuntunan tuhan dan rasulnya.


Tentu saja tidak ada manusia yang sempurna, sekaligus tidak ada tayangan yang sempurna. Tetapi paling tidak sinetron Para Pencari Tuhan insyaallah jika dibandingkan acara lain, lebih sedikit mudharatnya dan lebih banyak manfaatnya. Seharusnya para produser belajar banyak dari program ini, dan bersaing secara sehat mempersiapkan program yang lebih berisi.


Mohon maaf jika artikel ini menyinggung sebagian orang, atau tidak berkenan membacanya. Ini hanya sekedar analisa “setengah-setengah”. Bukan sedang menggurui anda. Sebaliknya lebih mengingatkan diri saya sendiri. Jika tidak bermanfaat buang saja. Jika ada setetes pesan positif, semoga membawa berkah bagi saya dan anda semua. Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar